Jumat, 19 September 2008

Mengapa Hatiku Belum Juga RAMADHAN...?!?

ah,... sudah hampir masuk 10 hari terakhir Ramadhan, tapi kenapa htiku belum juga Ramadhan ? adakah yang salah dengan hatiku? atokah aku terlallu jauh dengan Kekasihku...? ah... belum juga kutau jawabnya setelah sekian lama aku merenung

Selasa, 19 Agustus 2008

"Seorang gadis itu ...

yang lembut fitrah tercipta, halus kulit, manis tuturnya, lentur hati ... telus wajahnya, setelus rasa membisik di jiwa, di matanya cahaya, dalamnya ada air, sehangat cinta, sejernih suka, sedalam duka, ceritera hidupnya...
Seorang gadis itu ... Hatinya penuh manja, penuh cinta, sayang semuanya, cinta untuk diberi ... cinta untuk dirasa ... namun manjanya bukan untuk semua, bukan lemah, atau kelemahan dunia ... ia bisa kuat, bisa jadi tabah, bisa ampuh menyokong, pahlawan-pahlawan dunia ... begitu unik tercipta, Lembutnya bukan lemah, tabahnya tak perlu pada jasad yang gagah ... seorang gadis itu ... teman yang setia, buat Adam dialah Hawa, tetap di sini ... dari indahnya jannah, hatta ke medan dunia, hingga kembali mengecap ni'matNya ... Seorang gadis itu ... Bisa seteguh Khadijah, yang suci hatinya, tabah & tenang sikapnya, teman ar-Rasul, pengobat duka & laranya ... bijaksana ia, menyimpan ílmu, si teman bicara, dialah Á’isyah, penyeri taman Rasulullah, Dialah Hafsah, penyimpan mashaf pertama kalamullah ... seorang gadis itu ... bisa setabah Maryam, meski dicaci meski dikeji, itu hanya cerca manusia, namun sucinya ALLah memuji ... Seperti Fatimah kudusnya, meniti hidup seadanya, puteri Rasulullah ... kesayangan ayahanda, suaminya si panglima agama, di belakangnya dialah pelita, cahya penerang segenap rumahnya, ummi tersayang cucunda Baginda ... Sisa dia segagah Nailah, dengan dua tangan tegar melindung khalifah, meski akhirnya bermandi darah, meski akhirnya khalifah rebah, syaheed menyahut panggilan Allah . Seorang gadis itu ... perlu ada yang membela, agar ia terdidik jiwa, agar ia terpelihara ... dengan kenal Rabbnya, dengan cinta Rasulnya ... dengan yakin Deennya, dengan teguh áqidahnya, dengan utuh cinta yang terutama, Allah jua RasulNya, dalam ketaatan penuh setia . pemelihara maruah dirinya, agama, keluarga & ummahnya ... Seorang gadis itu ... melenturnya perlu kasih sayang, membentuknya perlu kebijaksanaan, kesabaran dan kemaafan, keyakinan & penghargaan, tanpa jemu & tanpa bosan, memimpin tangan, menunjuk jalan ... seorang gadis itu ... yang hidup di alaf ini, gadis akhir zaman, era hidup perlu berdikari ... dirinya terancam dek fitnah, sucinya perlu tabah, cintanya tak boleh berubah, tak bisa terpadam dek helah, dek keliru fikir jiwanya, kerna dihambur ucapkata nista, hanya kerana dunia memperdaya ... kerna seorang gadis itu, yang hidup di zaman ini ... perlu teguh kakinya, mantap iman mengunci jiwanya, dari lemah & kalah, dalam pertarungan yang lama ... dari rebah & salah, dalam perjalanan mengenali Tuhannya, dalam perjuangan menggapai cinta, ni'mat hakiki seorang hamba, dari Tuhan yang menciptakan, dari Tuhan yang mengurniakan, seorang gadis itu ... anugerah istimewa kepada dunia! Seorang gadis itu ... Tinggallah di dunia, sebagai ábidah, daíyah & mujahidah, pejuang ummah ... anak ummi & ayah, muslimah yang solehah ... kelak jadi ibu, membentuk anak-anak ummah, rumahnya taman ilmu, taman budi & ma'rifatullah ... seorang gadis itu ... moga akan pulang, dalam cinta & dalam sayang, redha dalam keredhaan, Allah yang menentukan ... seorang gadis itu dalam kebahagiaan! Moga ar-Rahman melindungi, merahmati dan merestui, perjalanan seorang gadis itu ... menuju cintaNYA yang ABADI!

Sabtu, 02 Agustus 2008

Cinta itu Keputusan

Saudaraku,Cinta adalah keputusan. Ya, keputusan untuk merawat, menumbuhkan, mengembangkan, dan melindungi orang yang kita cintai. Jika cinta menyerupai air pada beberapa tabiat dasarnya, maka sifat utama air yang melekat padanya adalah fakta bahwa air adalah sumber kehidupan. Jika cinta adalah gagasan bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih baik, dan tindakan utamanya adalah memberi untuk menumbuhkan, maka kekuatan pesona utama seorang pecinta adalah aura kehidupan yang memancar dari dalam dirinya.Aura kehidupan. Ya, aura kehidupan. Ia membuat orang-orang di sekelilingnya merasakan denyut nadi kehidupan, merasakan hamparan keindahan hidup, merasakan alasan mengapa mereka hidup dan harus melanjutkan hidup, merasakan alasan untuk bertumbuh demi merakit pemaknaan tiada henti terhadap kehidupan. Ia, intinya membuat orang-orang di sekeliling merasa hidup. Sebab ia menebar benih kehidupan di ladang hati mereka.Aura kehidupan. Ya, Aura kehidupan. Sebab ia memiliki dan menggabung tiga pesona utama para pencinta: pesona raga, pesona jiwa, pesona ruh. Ketiga pesona itu terbingkai rapih pada sebuah “akal besar” yang menerangi kehidupannya dan orang-orang di sekitarnya.Maka mendekatlah padanya, niscaya engkau kan merasakan betapa air kehidupan serasa mengalir pada tiap sudut jiwa dan ragamu. Maka tataplah matanya, niscaya engkau akan merasakan gairah kehidupan yang akan memberimu semangat baru untuk terus hidup, terus melanjutkan hidup. Maka dengarkanlah kata-katanya, maka engkau akan merasakan betapa engkau layak dan pantas untuk mendapatkan kehidupan yang berkualitas, kehidupan yang lebih baik. Dan jika Tuhan mengizinkan engkau merasakan sentuhannya, niscaya engkau akan merasakan betapa air kehidupan mendidih dalam tubuhnya. Dan jika Tuhan memperkenankan engkau hidup berlama-lama dengannya, niscaya engkau akan merasakan betapa perlindungan dan penumbuhannya membuatmu terengkuh dalam rasa aman dan nyaman.Engkau bahkan tidak pernah begitu yakin tentang pesona apa yang pertama kali menawanmu. Apakah kulit hitam yang tidak dapat menyembunyikan cahaya matanya? Atau ketegasan sikap yang tidak dapat merahasiakan kebajikan hatinya?Atau kelembutan bawaan yang tidak sanggup menutup-nutupi keberaniannya? Atau diam panjang yang tidak mampu menghalangi ilmu dan wawasannya? Atau badan kurus yang dijelaskan oleh puasa dan pengendalian dirinya? Atau? Tidak! Semua menyatu dalam dirinya: Ruhnya yang halus, jiwanya yang lembut terbungkus dalam raganya yang kokoh, terangkai dalam perilaku yang terbimbing dalam akar besarnya. Tapi itu semua ada dalam dirinya. Dan ketika ia keluar, ia hanya memancarkan satu hal:aura kehidupan. Dan itulah yang engkau rasakan dan yang mungkin sekali tidak engkau ketahui asal muasal dan akarnya dalam dirinya. Dia bukan sebuah profil yang sempurna. Dia hanya sebuah kehendak yang lebih nyata. Dia bukan nabi yang tak mungkin salah. Dia hanya sebuah tekad perbaikan berkesinambungan yang tak henti-henti. Dan itulah aura kehidupan: gairah yang tak pernah selesai Mereka berdua, lelaki dan perempuan membuat keputusan itu, untuk saling mencintai. Dulur Lanang

Jumat, 01 Agustus 2008

Aku Tidak Lebih Dulu ke Surga

Baca dan Renungkan Aku tidak tahu dimana berada. Meski sekian banyak manusia berada disekelilingku, namun aku tetap merasa sendiri dan ketakutan. Aku masih bertanya dan terus bertanya, tempat apa ini, dan buat apa semua manusia dikumpulkan. Mungkinkah, ah aku tidak mau mengira-ngira. Rasa takutku makin menjadi-jadi, tatkala seseorang yang tidak pernah kukenal sebelumnya mendekati dan menjawab pertanyaan hatiku. "Inilah yang disebut Padang Mahsyar," suaranya begitu menggetarkan jiwaku. "Bagaimana ia bisa tahu pertanyaanku," batinku. Aku menggigil, tubuhku terasa lemas, mataku tegang mencari perlindungan dari seseorang yang kukenal. Kusaksikan langit menghitam, sesaat kemudian bersinar kemilauan. Bersamaan dengan itu, terdengar suara menggema. Aku baru sadar, inilah hari penentuan, hari dimana semua manusia akan menerima keputusan akan balasan dari amalnya selama hidup didunia. Hari ini pula akan ditentukan nasib manusia selanjutnya, surgakah yang akan dinikmati atau adzab neraka yang siap menanti. Aku semakin takut. Namun ada debar dalam dadaku mengingat amal-amal baikku didunia. Mungkinkah aku tergolong orang-orang yang mendapat kasih-Nya atau jangan-jangan ......... Aku dan semua manusia lainnya masih menunggu keputusan dari Yang menguasai hari pembalasan. Tak lama kemudian, terdengar lagi suara menggema tadi yang mengatakan, bahwa sesaat lagi akan dibacakan daftar manusia-manusia yang akan menemani Rasulullah SAW di surga yang indah. Lagi-lagi dadaku berdebar, ada keyakinan bahwa namaku termasuk dalam daftar itu, mengingat banyaknya infaq yang aku sedekahkan. Terlebih lagi, sewaktu didunia aku dikenal sebagai juru dakwah. "Kalaulah banyak orang yang kudakwahi masuk surga, apalagi aku," pikirku mantap. Akhirnya, nama-nama itupun mulai disebutkan. Aku masih beranggapan bahwa namaku ada dalam deretan penghuni surga itu, mengingat ibadah-ibadah dan perbuatan-perbuatan baikku. Dalam daftar itu, nama Rasulullah Muhammad SAW sudah pasti tercantum pada urutan teratas, sesuai janji Allah melalui Jibril, bahwa tidak satupun jiwa yang masuk kedalam surga sebelum Muhammad masuk. Setelah itu tersebutlah para Assabiquunal Awwaluun. Kulihat Fatimah Az Zahra dengan senyum manisnya melangkah bahagia sebagai wanita pertama yang ke surga, diikuti para istri-istri dan keluarga rasul lainnya. Para nabi dan rasul Allah lainnya pun masuk dalam daftar tersebut. Yasir dan Sumayyah berjalan tenang dengan predikat Syahid dan syahidah pertama dalam Islam. Juga para sahabat lainnya, satu persatu para pengikut terdahulu Rasul itu dengan bangga melangkah ke tempat dimana Allah akan membuka tabirnya. Yang aku tahu, salah satu kenikmatan yang akan diterima para penghuni surga adalah melihat wajah Allah. Kusaksikan para sahabat Muhajirin dan Anshor yang tengah bersyukur mendapatkan nikmat tiada terhingga sebagai balasan kesetiaan berjuang bersama Muhammad menegakkan risalah. Setelah itu tersebutlah para mukminin terdahulu dan para syuhada dalam berbagai perjuangan pembelaan agama Allah. Sementara itu, dadaku berdegub keras menunggu giliran. Aku terperanjat begitu melihat rombongan anak-anak yatim dengan riang berlari untuk segera menikmati kesegaran telaga kautsar. Beberapa dari mereka tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku. Sepertinya aku kenal mereka. Ya Allah, mereka anak-anak yatim sebelah rumahku yang tidak pernah kuperhatikan. Anak-anak yang selalu menangis kelaparan dimalam hari sementara sering kubuang sebagian makanan yang tak habis kumakan. "Subhanallah, itu si Parmin tukang mie dekat kantorku," aku terperangah melihatnya melenggang ke surga. Parmin, pemuda yang tidak pernah lulus SD itu pernah bercerita, bahwa sebagian besar hasil dagangnya ia kririmkan untuk ibu dan biaya sekolah empat adiknya. Parmin yang rajin sholat itu, rela berpuasa berhari-hari asal ibu dan adik-adiknya di kampung tidak kelaparan. Tiba-tiba, orang yang sejak tadi disampingku berkata lagi, "Parmin yang tukang mie itu lebih baik dimata Allah. Ia bekerja untuk kebahagiaan orang lain." Sementara aku, semua hasil keringatku semata untuk keperluanku. Lalu berturut-turut lewat didepan mataku, mbok Darmi penjual pecel yang kehadirannya selalu kutolak, pengemis yang setiap hari lewat depan rumah dan selalu mendapatkan kata "maaf" dari bibirku dibalik pagar tinggi rumahku. Orang disampingku berbicara lagi seolah menjawab setiap pertanyaanku meski tidak kulontarkan, "Mereka ihklas, tidak sakit hati serta tidak memendam kebencian meski kau tolak." Masya Allah murid-murid pengajian yang aku bina, mereka mendahuluiku ke surga. Setelah itu, berbondong-bondong jamaah masjid-masjid tempat biasa aku berceramah. "Mereka belajar kepadamu, lalu mereka amalkan. Sedangkan kau, terlalu banyak berbicara dan sedikit mendengarkan. Padahal, lebih banyak yang bisa dipelajari dengan mendengar dari pada berbicara," jelasnya lagi. Aku semakin penasaran dan terus menunggu giliranku dipanggil. Seiring dengan itu antrian manusia-manusia dengan wajah ceria, makin panjang. Tapi sejauh ini, belum juga namaku terpanggil. Aku mulai kesal, aku ingin segera bertemu Allah dan berkata, "Ya Allah, didunia aku banyak melakukan ibadah, aku bershodaqoh, banyak membantu orang lain, banyak berdakwah, izinkan aku ke surgaMu." Orang dengan wajah bersinar disampingku itu hendak berbicara lagi, aku ingin menolaknya. Tetapi, tanganku tak kuasa menahannya untuk berbicara. "Ibadahmu bukan untuk Allah, tapi semata untuk kepentinganmu mendapatkan surga Allah, shodaqohmu sebatas untuk memperjelas status sosial, dibalik bantuanmu tersimpan keinginan mendapatkan penghargaan, dan dakwah yang kau lakukan hanya berbekas untuk orang lain, tidak untukmu," bergetar tubuhku mendengarnya. Anak-anak yatim, Parmin, mbok Darmi, pengemis tua, murid-murid pengajian, jamaah masjid dan banyak lagi orang-orang yang sering kuanggap tidak lebih baik dariku, mereka lebih dulu ke surga Allah. Padahal, aku sering beranggapan, surga adalah balasan yang pantas untukku atas dakwah yang kulakukan, infaq yang kuberikan, ilmu yang kuajarkan dan perbuatan baik lainnya. Ternyata, aku tidak lebih tunduk dari pada mereka, tidak lebih ikhlas dalam beramal dari pada mereka, tidak lebih bersih hati dari pada mereka, sehingga aku tidak lebih dulu ke surga dari mereka. Termasuk Manakan Anda ? Jam dinding berdentang tiga kali. Aku tersentak bangun dan, astaghfirullah ternyata Allah telah menasihatiku lewat mimpi malam ini. (bay)

Kamis, 31 Juli 2008

Antara Khimar dan Jilbab

Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam al-Qur’an surah An-Nuur [24]: 31 disebut dengan istilah khimar (jamaknya: khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah al-Ahzab [33]: 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah.Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat —atau menggunakan bahan tekstil yang transparan— tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah dosa dan kesesatan.Berkaitan dengan itu, Nabi Saw pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan menjadi sesuatu yang asing —termasuk busana jilbab— sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam dengan teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan insyaAllah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi Saw:“Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” [HR. Muslim no. 145].“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata, “Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka?” Rasululah Saw menjawab, “Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat).” [HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan].2. Aurat Dan Busana MuslimahAda 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah yang berbeda-beda.Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.Kedua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah pribadi, atau tempat kost.Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah), yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum ini terdiri dari jilbab dan khimar.a. Batasan Aurat WanitaAurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan) (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, juz III, hal. 316).Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, juz XVIII, hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha): “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan, ‘Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan’.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz XII, hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi Saw sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah Saw, yaitu di masa masih turunnya ayat al-Qur’an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:“Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud].Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.b. Busana Muslimah Dalam Kehidupan KhususAdapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (Qs. an-Nuur [24]: 31) “wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi Saw “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) [HR. Abu Dawud]. Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar’i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.Namun demikian syara’ telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.Mengenai dalil bahwasanya syara’ telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi Saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah Saw berpaling seraya bersabda:“Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.” [HR. Abu Dawud].Jadi Rasulullah Saw menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi Saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi Saw tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi Saw kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah Saw bersabda kepadanya:“Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.” [HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, juz I, hal. 441] (Al-Albani, 2001 : 135).Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah Saw mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda: “Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu.”Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara’ telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.c. Busana Muslimah Dalam Kehidupan UmumPembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.Apakah pengertian jilbab? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar’ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab: milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum (An-Nabhani, 1990 : 48).Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung):“Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab):“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiah r.a., bahwa dia berkata:“Rasulullah Saw memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata, ‘Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?’ Maka Rasulullah Saw menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’” [Muttafaqun ‘alaihi] (Al-Albani, 2001 : 82).Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, juz I, hal. 388, mengatakan: “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar (rumah) jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu ‘Athiah r.a. di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab —untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)— maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi Saw tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan: “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka).Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini —yaitu idnaa’ berarti irkhaa’ ila asfal— diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda:“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi Saw menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’ (yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab, ‘Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab, ‘Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, juz III, hal. 47; hadits sahih] (Al-Albani, 2001 : 89).Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi Saw, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah —yaitu jilbab— telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “[/i]yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina[/i]” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan) (An-Nabhani, 1990 : 45-51).3. PenutupDari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab dalam al-Qur’an.Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah. @ Dulur Lanang 2008

Mau Tidak Mau Kita Harus Berani Dewasa

Masa Lalu Itu Guru Kita Setiap manusia pasti memiliki penggalan-penggalan hidup dan masa lalu. Terlepas dari baik buruknya, indah maupun suramnya. Maka, mengenang sepotong kisah masa lalu itu, perlu. Dan biarkan. Jangan dicaci. Seburuk apapun, itu kenyataan dari perjalanan hidup kita, masa lalu kita. Biarlah. Kita tak perlu membuang rekaman siaran masa lalu kita. Sepahit apapun. Meski hal ini tidak berarti pula boleh mengumbar aib kita. Mari belajar buat diri kita sendiri secara dalam dan tajam. Biarlah orang lain tahu yang baik-baik saja tentang kita.Jika kita mematut wajah kita di cermin setiap hari, tentu penampilan akan terjaga. Begitu juga bila kita menjadikan rekaman masa lalu sebagai cermin, maka kita akan menjaga perilaku kita. Semakin banyak rekaman yang selalu kita ingat, akan semakin akurat kita melangkah ke depan. Kita betul-betul belajar dari kesalahan. Belajar di laboratorium kehidupan. Senantiasa untuk menyempurnakan amal kita.Masa lalu yang suram itu memang menyisakan luka.
Tapi ia tak harus menjadi momok yang menghantui masa depan kita. Betapapun gelap suramnya, ia bukan bayang-bayang hitam yang membuat kita takut melangkah ke depan. Tapi bayang-bayang hitam yang semakin memperjelas mana jalan yang abu-abu dan mana jalan yang benar-benar putih bersinar.Orang yang menarik ibrah (pelajaran) dari masa lalunya tidak akan menjadi traumatis. Sebab ia mengembalikan segala musibah sekecil apapun kepada Allah. Hingga hatinya kembali lapang, pikirannyapun menjadi jernih. Keberaniannyapun pulih sepenuhnya. Dan keberanianlah yang membuatnya bersemangat terus berusaha untuk lebih baik.Kita harus berbesar hati dengan masa lalu kita. Wajar melihat kekalahan dan kesalahan kita. Dan seharusnya kita bersikap dewasa di hadapan masa lalu kita. Kita jajar semua rekaman masa lalu kita dengan susunan rapi di rak-rak pikiran dan kamar-kamar jiwa yang lapang. Setiap saat kita bisa membuka kembali rekaman itu untuk dipelajari.Masa lalu adalah laboratorium kita, yang dengan tenaga dan berkepala dingin kita bisa mengolah untuk bahan baku amal kita di kemudian hari. Syaratnya, kita tidak boleh traumatis dan mau mengakui sepenuhnya sebagai bagian dari sejarah kehidupan kita. Jika kita mampu mengambil ibrah, maka masa lalu sesuram apapun dapat menjadi modal berharga bagi masa depan kita. Menjadi guru kita.Dan, kita harus berani. Berani berubah menuju jalan yang paling benar. Memang mengawali itu sulit, kecuali bagi orang-orang yang sadar keadaannya. Kecuali bagi mereka yang siap meraih kemuliaan. Kecuali bagi orang yang mau berlari dari kesalahan. Kecuali bagi yang menginginkan kedewasaan mengaliri jiwanya. Berani Hidup Harus Berani Dewasa Menjadi anak-anak adalah fase hidup. Tetapi menjadi dewasa adalah keberanian. Maka berani dewasa bukan urusan usia -meski usia punya kontribusinya- tapi soal sikap. Berani dewasa adalah pilihan hidup yang tidak sederhana. Ini bukan semata soal bertambahnya usia. Tetapi berani dewasa adalah keputusan sikap, sudut pandang, pikiran, dan tindakan yang benar-benar didasarkan kepada kesadaran penuh. Kuncinya pada kematangan, kekuatan pijakan, tujuan akhir yang seterang matahari di puncak siang. Tentu ruh dasar dan fundamentalnya jelas-jelas iman.Proses berani dewasa adalah situasi demi situasi yang kita bangun dari rangkaian sikap demi sikap. Yang kita pupuk dengan ketulusan demi ketulusan. Yang kita rajut dari tabungan demi tabungan hikmah dan renungan jiwa kita. Sayangnya, meski telah banyak makan asam garam hidup, ternyata banyak orang tua yang terlambat dewasa. Sementara orang-orang muda banyak yang tidak berani dewasa.Berani dewasa adalah keputusan jiwa yang sangat tidak sederhana. Sebab ia seringkali berada dalam situasi lahiriyah yang sangat kontras. Kita kanak-kanak misalnya, tapi harus tumbuh dalam kemengertian yang maju. Kita miskin misalnya, tapi kita harus menuntun hati dan menekan kehendak-kehendak kemewahan yang tak sampai. Kita kaya misalnya, tapi harus mampu memerangi keangkuhan dan naluri semena-mena yang dipicu oleh kekayaan itu. Kita punya keterbatasan misalnya, tapi kita harus berjuang menggerakkan segala upaya agar kita menjadi sesuatu. Kita pintar dan bergelar misalnya, tapi harus sadar, arif dan terus meyakini bahwa di atas yang kita bisa masih ada yang lebih bisa. Begitulah kedewasaan mengairi takdir-takdir jalan hidup kita dengan kejelasan arah, kejernihan sudut pandang, tetapi dengan vitalitas yang terus menyala.Berani hidup harus berani dewasa. Hidup ini memang tidak mudah, tetapi alangkah tidak mudahnya hidup tanpa keberanian menjadi dewasa. Fase demi fase adalah kepastian. Setiap usia punya jenjangnya, situasinya, sulit atau mudahnya. Tapi keberanian menjadi dewasa adalah keniscayaan yang dengannya kita lalui fase itu, kita kejar cita-cita akhir kita, di puncak pengharapan akan ridha Allah SWT.Berani menjadi dewasa adalah suatu pilihan. Sesulit apapun situasinya, kita harus tetap dapat mengajak diri kita untuk meraih tahapan kedewasaan itu. Mencapai fase kedewasaan ini amat bermakna. Maka semestinya kita berani menggapai fase kedewasaan itu yang tidak dinilai dari faktor usia semata, namun kemampuan kita untuk mengkaji segala sesuatu dari kacamata yang semestinya. Kacamata manusia yang berusaha mencapai kematangan pola pikir dan rasa.Seorang anak tidaklah mesti menjadi kanak-kanak. Ini bukanlah melulu dari faktor biologis semata, tapi justru dari segi pemikirannya. Ada kalanya dalam usia yang masih muda seseorang begitu berani mengambil tanggungjawab. Keberaniannya karena sebuah kesadaran bahwa tanpa keberanian menjadi dewasa, hidup akan menjadi kerdil, penuh beban, kesulitan, dan penderitaan.Kedewasaan artinya kemampuan kita untuk menentukan hidup sendiri, mampu beradaptasi dengan lingkungan, dan mampu bertanggungjawab. Kematangan tidak mungkin hadir dengan instan. Kedewasaan adalah puncak dari kekuatan hidup yang harus kita miliki untuk memberi makna dan arti bagi perjalanan hidup kita. Jiwa ini perlu tantangan dan perlu juga benturan, maka muncullah upaya keras, mujahadah. Dari mujahadah akan muncul kualitas iman.Kematangan berpikir dan kedewasaan dalam bersikap adalah hasil dari sebuah usaha yang kita lakukan terus menerus tanpa henti, dengan memanfaatkan kesempatan yang ada. Sebab kedewasaan itu tidak muncul dari satu pintu, dan tidak mesti lahir seiring dengan bertambahnya usia. Tapi dari kesadaran penuh menjadi manusia secara benar sesuai dengan fungsi-fungsi sejatinya.Menjadi seorang ibu atau bapak dewasa yang benar misalnya, ini perlu kesadaran penuh dan pemahaman yang benar tentangnya. Tapi sekarang, banyak wanita disebut ibu hanya karena ia melahirkan anak, bukan semata-mata karena kepatutan menjadi seorang ibu. Begitu pula, banyak laki-laki disebut bapak hanya karena istrinya melahirkan, bukan semata-mata karena kelayakannya menjadi seorang bapak. Maka menjadi ibu dan bapak dengan dewasa adalah pilihan. Sedangkan mendapat ‘gelar kehormatan’ sebagai ibu dan bapak karena sekedar punya anak adalah kepastian yang otomatis. Siapapun bisa.Mau Tidak Mau Kita Harus Berani Dewasa. Tapi, betapa banyak laki-laki pengecut dan wanita pengecut; kerdil jiwanya tidak dewasa. Laki-laki pengecut; mereka hanya berani menikmati kedekatan dengan wanita namun tak siap mengambil tanggungjawab pernikahan. Dan, wanita-wanita pengecut; mereka hanya berani berteman dengan laki-laki namun tidak siap untuk dinikahi. Pengecut dan kerdil jiwanya.Ketahuilah, ada sebuah karakter tunggal yang mempesona; bahwa orang-orang yang sekarang kita kenal sebagai orang besar, mereka selalu dewasa sejak belia. Merekalah orang-orang yang berhasil memilih jalan hidupnya secara tepat di usia mudanya.Mari bertanya, di wilayah mana kita sekarang hidup? Jalan apa yang sedang kita tapaki ini? Mengikuti petunjuk siapa hidup yang sedang kita jalani ini? Mari renungi, semoga menjadi jalan pembuka menggapai kedewasaan. Wallahu’alam Dulur Lanan.

rasa syukurku

bismillah... alhamdulillah tiada kemuliaan tanpa islam tiada islam tanpa syariah tiada syariah... tanpa tegaknya daulah khilafah islamiyah